Riau, (LA) – Peristiwa penolakan Ustaz Abdul Somad (UAS) di Sumatera Barat, khususnya oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Payakumbuh, telah menimbulkan berbagai pandangan tentang peran agama dalam ranah politik di Indonesia. Di saat Sumatera Barat memilih untuk menghindari potensi politisasi melalui penolakan ini, di Riau, UAS terlibat dalam kampanye mendukung pasangan calon Abdul Wahid dan SF Hariyanto. Yang menarik, dukungan tersebut muncul dalam konteks acara Tabligh Akbar, sebuah kegiatan yang umumnya dikaitkan dengan dakwah dan pendidikan agama.
Fenomena ini memunculkan diskusi tentang bagaimana batasan antara agama dan politik sering kali menjadi kabur. Penolakan UAS di Sumatera Barat didasarkan pada kekhawatiran MUI setempat bahwa tabligh akbar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan politik. MUI menyatakan dalam suratnya bahwa acara keagamaan seperti ini, apalagi mendekati masa pemilihan, berpotensi digunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk meraih dukungan politik. Tentu saja, ini adalah bentuk kehati-hatian untuk menjaga netralitas dakwah dan mencegah munculnya politik identitas yang dapat berpotensi memecah belah masyarakat.
Di Riau, UAS tampil mendukung salah satu pasangan calon dalam acara Tabligh Akbar, yang memberikan kesan bahwa ada keterlibatan agama dalam aktivitas politik. Meski setiap tokoh agama memiliki hak untuk menyatakan pandangannya, termasuk dalam politik, pertanyaan etis yang muncul adalah mengenai pilihan medium atau platform yang digunakan. Mengapa dukungan politik diberikan dalam acara yang berlabel keagamaan, padahal ada ruang kampanye resmi yang bisa digunakan secara lebih terbuka dan tanpa potensi pengaburan tujuan?
Hal ini semakin diperhatikan ketika tim advokasi pasangan Syamsuar – Mawardi (Suwai), lawan politik Abdul Wahid dan SF Hariyanto, mendatangi Komisi Pemilihan Umum (KPU) Riau untuk berkonsultasi terkait aturan kampanye. Tim advokasi Suwai mempertanyakan aturan tentang penggunaan acara keagamaan seperti Tabligh Akbar untuk kegiatan kampanye politik. Tindakan ini memperlihatkan bahwa ada kekhawatiran di antara para kandidat mengenai batasan antara agama dan politik, serta potensi penyalahgunaan acara keagamaan untuk mendukung calon tertentu.
Dalam pandangan publik, keterlibatan tokoh agama dalam ranah politik bisa dilihat dari berbagai sudut. Bagi sebagian orang, keterlibatan ini dianggap sah-sah saja, selama tokoh tersebut berbicara dalam kapasitas pribadi dan tidak membawa lembaga keagamaan. Namun, bagi yang lain, penggunaan acara keagamaan sebagai sarana untuk menyampaikan dukungan politik bisa dianggap menyulitkan karena dapat menciptakan kesan bahwa agama dan politik sedang bercampur, yang dalam konteks Indonesia yang plural, hal ini sangat sensitif.
Penolakan UAS di Sumatera Barat bisa dilihat sebagai bentuk kehati-hatian yang berusaha menjaga ketertiban sosial dan mencegah adanya kesalahpahaman di masyarakat. MUI Payakumbuh tampaknya ingin menjaga netralitas dan kehormatan dakwah, menghindari kemungkinan bahwa acara keagamaan dipersepsikan memiliki agenda politik tersembunyi. Tentu, ini bukan berarti bahwa UAS tidak boleh menyuarakan dukungan politiknya, tetapi pilihan untuk menyampaikan dukungan tersebut dalam acara keagamaan menimbulkan banyak interpretasi yang berbeda di masyarakat.
Dalam kasus di Riau, penggunaan Tabligh Akbar sebagai platform untuk menyampaikan dukungan kepada pasangan calon bisa dilihat dari dua sisi. Di satu sisi, masyarakat berhak mendengarkan pendapat tokoh agama yang dihormati. Namun, di sisi lain, acara keagamaan idealnya diadakan dengan fokus pada nilai-nilai spiritual dan moral, sehingga tidak tercampur dengan agenda politik praktis. Hal ini untuk memastikan bahwa dakwah tetap murni dan tidak tercampur oleh tujuan-tujuan lain yang berpotensi menimbulkan salah tafsir.
Penting untuk dicatat bahwa setiap tokoh masyarakat, termasuk ulama, memiliki hak untuk berpartisipasi dalam proses politik. Namun, dalam konteks demokrasi yang sehat, transparansi dan kejelasan sangat penting untuk menjaga kepercayaan publik. Acara kampanye yang dilakukan secara terang-terangan dan di tempat yang sesuai dengan tujuan politiknya akan lebih baik dalam menjaga integritas proses demokrasi, daripada membawa pesan politik ke dalam acara keagamaan yang bisa membuat sebagian orang merasa bahwa batas antara agama dan politik telah dilanggar.
Melalui perspektif ini, kita dapat memahami mengapa ada kekhawatiran di Sumatera Barat terkait potensi politisasi agama. Masyarakat Sumatera Barat, melalui sikap MUI-nya, tampaknya ingin menghindari keterlibatan agama dalam politik praktis secara langsung, sementara di Riau, pendekatan yang lebih terbuka dilakukan oleh UAS.
Keterlibatan tokoh agama dalam politik akan selalu menjadi topik yang menantang, terutama di negara dengan keragaman yang tinggi seperti Indonesia. Yang terpenting adalah menjaga agar peran agama tetap menjadi sumber kebaikan dan pemersatu, tanpa dimanfaatkan untuk kepentingan politik sesaat. Transparansi dan kejelasan dalam memisahkan ranah politik dan agama akan membantu menjaga keharmonisan sosial di tengah dinamika politik yang ada.
Opini ini semata-mata dimaksudkan sebagai refleksi atas peristiwa yang terjadi dan tidak bermaksud menuduh siapa pun. Bagaimanapun juga, tokoh agama dan masyarakat harus bersama-sama menjaga agar pesan-pesan spiritual tetap murni dan tidak tercampur dengan kepentingan politik, demi kebaikan bersama.