Internasional, Literasiaktual.com – Pertempuran sengit di Sudan antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan Pasukan Pendukung Cepat (RSF) telah memasuki bulan kedua, dengan konsekuensi yang menghancurkan bagi warga sipil dan infrastruktur sipil. Khartoum masih menjadi pusat pertempuran, karena SAF terus melancarkan serangan udara di daerah-daerah padat penduduk.
Tembakan dan ledakan telah menghancurkan sebagian besar kota. RSF dilaporkan telah mengusir penduduk di Khartoum dan mengambil alih sejumlah bangunan untuk memperluas posisi operasional dan strategis mereka. Ada juga laporan tentang meningkatnya kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender, termasuk pemerkosaan, yang dilakukan oleh pasukan bersenjata.
Puluhan ribu orang masih terjebak di dalam rumah dan kehabisan pasokan penting. Baik SAF maupun RSF tidak memfasilitasi jalur yang aman bagi warga sipil untuk mengungsi atau bagi pekerja kemanusiaan untuk memberikan bantuan, dan jalur suplai penting tetap terputus.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), 70 persen pusat kesehatan di daerah yang terkena dampak konflik tidak beroperasi. Terlepas dari risiko yang ada, komite perlawanan lokal, dokter, dan sukarelawan terus berusaha memberikan bantuan.
Pada tanggal 11 Mei, atas permintaan lebih dari 50 negara dan seruan dari organisasi masyarakat sipil, Dewan Hak Asasi Manusia (HRC) PBB mengadakan sesi khusus mengenai dampak hak asasi manusia dari konflik di Sudan.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia, Volker Türk, mengutuk keras “kekerasan yang tidak berperikemanusiaan, dimana kedua belah pihak telah menginjak-injak hukum humaniter internasional, khususnya prinsip-prinsip pembedaan, proporsionalitas, dan kehati-hatian.”