Karena, Mahfud melanjutkan, ada Inpres Nomor 2 Tahun 2017. Aturan itu menjelaskan setiap informasi dugaan TPPU yang dikeluarkan PPATK baik karena permintaan dari instansi yang bersangkutan atau pun karena inisiatif PPATK karena laporan masyarakat perlu dibuka.
“Begitu dikeluarkan nanti harus ada laporannya dari instansi yang bersangkutan ini menurut Inpres. Report-nya itu apa. Lalu bermacam-macam ada yang belum, ada yang sudah, dan seterusnya.
Sehingga dia menegaskan bahwa nilai transaksi janggal Rp 300 triliun itu berasal dari korupsi yang dilakukan pegawai Kemenkeu. “Itu yang diumumkan ke publik tidak pernah menyebut nama orang dan angka untuk setiap rekening,” ucap dia.
Menurut Mahfud, dugaan TPPU di Kemenkeu nilainya lebih besar dari korupsi yang mengambil uang negara. Dia pun mengambil sampling tujuh kasus dari 197 kasus yang dilaporkan. Dari tujuh kasus itu dugaan TPPU-nya senilai Rp 60 triliun.
Mahfud juga menjelaskan selama ini aparat penegak hukum tidak pernah mengkonstruksi kasus dugaan TPPU padahal ada undang-undangnya. Sementara dugaan TPPU yang nilainya Rp 300 triliun akan ditindak lanjuti.
“Oleh sebab itu saya tadi berfikir kalau misalnya ada permintaan ke Kementerian untuk diselidiki dugaan TPPU kan terus saya harus kasih ke lembaga penegak hukum seperti KPK, atau kejaksaan, atau kepolisian,” ucap Mahfud.
Sementara itu, Feri Sibarani, S.H, yang kini sedang mengecap pendidikan Magister Hukum di Unilak Pekanbaru itu, juga mengatakan, bahwa menurut perspektif hukumnya, menteri keuangan Sri Mulyani, dalam kaitan transaksi mencurigakan senilai 300 T itu, yang terkesan di rahasiakan oleh Kemenkeu selama ini, dapat menjadi salah satu sosok penting yang harus dimintai keterangannya, karena yang bersangkutan adalah Menteri dari lembaga yang terkait permasalahan.