Pekanbaru, (LA) – Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Riau tahun 2025 terancam mengalami defisit serius yang diperkirakan mencapai 1,2 Trilliun rupiah, akibat jor-joran anggaran yang diduga dilakukan oleh mantan Penjabat (Pj) Gubernur Riau, SF Hariyanto. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua Komisi III DPRD Riau, Edi Basri atas kekhawatirannya terkait potensi ketidakseimbangan anggaran ini, dalam keterangannya di goriau.com.
Menurutnya, pengeluaran berlebihan pada masa kepemimpinan SF Hariyanto dianggap telah menciptakan kondisi yang berisiko terhadap kesehatan keuangan daerah.
Edi menyebutkan bahwa penggunaan anggaran yang “jor-joran” di bawah kepemimpinan SF Hariyanto adalah penyebab utama potensi defisit tersebut. “Pembicaraan mengenai potensi defisit ini sudah ramai di kalangan anggota DPRD Riau,” ujar Edi, Senin (6/11) dikutip dari Goriau.com. Ia menambahkan bahwa sejumlah anggota DPRD menilai ada “ketidakwajaran” dalam pengalokasian anggaran tahun ini yang dianggap sangat merugikan stabilitas keuangan daerah.
Di sisi lain, kritik pedas datang dari Heri Suryadi, Ketua Umum DPP Gerakan Riau Insight (GRI) yang berkantor pusat di Jakarta. Heri menilai bahwa proyek-proyek infrastruktur, khususnya pembangunan jalan yang dilakukan pada masa jabatan SF Hariyanto, lebih bernuansa pencitraan politik menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada). Hal ini, menurut Heri, berkaitan dengan rencana SF Hariyanto untuk maju sebagai calon Wakil Gubernur Riau, dan ia mempertanyakan, “Apakah Demi pencitraan?”
Menurut Heri, penggunaan anggaran secara besar-besaran untuk infrastruktur jalan tidak lebih dari upaya memperkuat citra politik pribadi. “Kalau benar yang disampaikan oleh Pak Edi Basri terkait anggaran besar yang digunakan untuk proyek jalan tanpa mempertimbangkan batas kewajaran, ini jelas berisiko. Pengeluaran seperti ini terkesan hanya untuk pencitraan politik. Kepala daerah harus bijaksana dalam mengelola APBD, jangan sampai mengorbankan stabilitas keuangan daerah demi kepentingan Pilkada,” ujar Heri.
Aktivis yang dikenal vokal ini menyoroti bahwa jika tindakan boros ini terbukti melanggar batas rasio defisit yang diperbolehkan oleh pemerintah pusat, maka tindakan tersebut bisa dianggap sebagai “penyalahgunaan wewenang.” Heri menilai bahwa proyek infrastruktur jalan yang dinilai sebagai bentuk kampanye terselubung adalah pengkhianatan terhadap tanggung jawab kepala daerah dalam mengelola keuangan publik.
“Ketika defisit tidak terkendali, APBD di masa mendatang akan sulit digunakan untuk sektor-sektor penting yang langsung berdampak pada masyarakat, seperti kesehatan, pendidikan, dan bantuan sosial. Akibatnya, pemerintah akan disibukkan dengan menutup defisit, sementara kebutuhan dasar masyarakat terabaikan,” tegas Heri.
Lebih lanjut, Heri mendesak DPRD Riau untuk aktif memastikan transparansi dalam alokasi anggaran, terutama dalam pembahasan RAPBD 2025, dan memastikan tidak ada anggaran yang digunakan demi kepentingan politik pribadi.
“DPRD harus bersikap tegas dan memastikan anggaran tidak hanya terkonsentrasi pada proyek besar yang tampak menguntungkan secara politis, tapi benar-benar memperhitungkan keberlanjutan dan kesejahteraan rakyat,” tambah Heri.
Berita mengenai potensi defisit APBD ini, menurut Heri, menjadi ujian bagi integritas pejabat daerah dalam mengelola uang rakyat. Ia akan terus memantau perkembangan situasi ini dan mendesak adanya pertanggungjawaban yang jelas serta sanksi tegas jika ada pelanggaran atau dugaan penyalahgunaan anggaran.
Kini, publik menanti hasil pembahasan antara Badan Anggaran (Banggar) DPRD Riau dan TAPD Pemprov Riau untuk memastikan besaran defisit yang ditimbulkan akibat pengeluaran ini. Apakah DPRD dan Pemprov Riau akan menemukan solusi untuk menyeimbangkan APBD 2025? Ataukah defisit ini akan semakin membebani masyarakat Riau di masa mendatang?
(RR21)