Setelah kembali dari pengasingan pada tahun 1948, ia terlibat dalam politik Indonesia. Ia menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), yang bertugas menyusun naskah dasar konstitusi Indonesia. Namun, ia tidak setuju dengan isi rancangan tersebut dan menolak untuk menandatanganinya. Ia juga menentang dominasi PKI dalam Pergerakan Nasional Indonesia dan terlibat dalam perdebatan dengan tokoh-tokoh lain, termasuk Sukarno dan Mohammad Hatta.
Dia sangat mendukung perjuangan orang Indonesia di luar Jawa dan memperjuangkan persamaan hak antara Indonesia bagian barat dan timur. Ia juga menyerukan persatuan antara buruh, petani, dan masyarakat dalam memperjuangkan keadilan sosial dan ekonomi.
Pada tahun 1965, selama G30S/PKI (Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia), Tan Malaka diculik dan kemudian dilaporkan hilang. Pada tahun 2020, jenazahnya ditemukan di Bogor dan diidentifikasi sebagai Tan Malaka. Dia kemudian dimakamkan dengan upacara kenegaraan
dengan upacara kenegaraan di Taman Makam Pahlawan, Jakarta, untuk menghormati peran dan jasanya dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia.
IDEALIS SEORANG TAN MALAKA
Tan Malaka adalah sosok yang idealis. Dia sangat percaya pada perjuangan kemerdekaan Indonesia dan keadilan sosial. Tan Malaka percaya bahwa rakyat Indonesia harus dibebaskan dari penindasan dan penderitaan yang disebabkan oleh kolonialisme, kapitalisme, dan ketidakadilan sosial.
Sebagai seorang sosialis dan komunis, Tan Malaka menganjurkan keadilan sosial, penghapusan sistem kelas dan pemerataan ekonomi. Dia melihat bahwa pemerintahan yang adil dan berpihak pada rakyat adalah kunci kemakmuran dan kebahagiaan bagi seluruh bangsa.