Jakarta, (LA) – Mantan Kepala Aksi & Advokasi PIJAR dan aktif di Indonesia Democracy Monitor (InDemo), Agustio Sulisto, mengkritik ketidakjelasan sikap masyarakat sipil dalam menjaga batas antara TNI-Polri dan politik. Menurutnya, hal ini terjadi karena relasi antara militer, kepolisian, dan kekuasaan selalu berubah mengikuti kebutuhan politik penguasa.
Ketergantungan Kekuasaan pada Militer dan Kepolisian
Dilansir dari laman kbanews.com, Agustio menyoroti bagaimana TNI dan Polri sering dijadikan instrumen politik kekuasaan, mulai dari era Soekarno hingga Jokowi. Ia menjelaskan bahwa pada masa Soekarno, militer digunakan sebagai penyeimbang kekuatan politik, sementara setelah peristiwa G30S 1965, TNI malah mengambil alih kekuasaan dan mendongkrak Soeharto ke puncak kekuasaan.
“Di era Soeharto, militer tidak hanya menjadi alat pertahanan, tetapi juga masuk ke birokrasi, parlemen, dan dunia bisnis. Dwi Fungsi ABRI menjadikan TNI sebagai pilar utama rezim Orde Baru,” ujar Agustio.
Era Reformasi: Pemisahan TNI-Polri, Tapi Peran Militer Masih Ada
Setelah era reformasi, pemisahan TNI dan Polri pada tahun 1999 menjadi langkah besar untuk mengurangi peran politik militer. Namun, Agustio menegaskan bahwa meskipun demikian, militer dan kepolisian masih sering terlibat dalam politik. Bahkan, pada era pemerintahan Jokowi, penggunaan TNI dan Polri dalam politik semakin jelas terlihat dengan beberapa peran strategis yang diberikan kepada para jenderal.
“Contoh nyata adalah Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dan Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Ini menunjukkan bahwa militer masih menjadi bagian integral dalam politik kekuasaan,” tambahnya.
Inkonsistensi Masyarakat Sipil dalam Mendukung atau Menentang Peran Militer
Agustio juga menyoroti sikap inkonsisten masyarakat sipil dalam mendukung atau menentang keterlibatan TNI dan Polri dalam urusan politik. Ia mengungkapkan bagaimana sikap ini tercermin dalam kasus penanganan Front Pembela Islam (FPI). Ketika TNI dilibatkan untuk menertibkan baliho Habib Rizieq Shihab, banyak pendukung pemerintah yang membenarkan tindakan militer. Namun, ketika enam aktivis FPI tewas dalam insiden di KM 50 Tol Jakarta-Cikampek, sebagian besar kelompok pro-pemerintah memilih untuk diam.
Peringatan bagi Demokrasi: Ketidakpastian dan Keterlibatan Militer dalam Politik
Sikap inkonsisten ini, menurut Agustio, mengancam kualitas demokrasi di Indonesia. Ia menjelaskan bahwa banyak kelompok politik dan masyarakat sipil hanya menentang intervensi militer saat itu mengancam kepentingan mereka, tetapi mendukungnya ketika digunakan untuk menekan lawan politik.
“Ini adalah tanda bahwa sebagian dari kita belum sepenuhnya memahami dan menghargai prinsip demokrasi yang sejati. Demokrasi tidak bisa berkembang dalam ketidakpastian dan ketidakjelasan posisi,” tegas Agustio.
Dengan potensi RUU TNI yang membuka peluang bagi militer untuk lebih banyak terlibat dalam ranah sipil, Agustio menilai hal ini sebagai tantangan besar bagi masa depan demokrasi Indonesia.