Oleh: Rifky Rizal Zaman, S.H.
Ketua Umum Forum Transparansi 08 Asta Cita
Bau anyir mesiu telah lama hilang, berganti dengan bau polusi dan aspal panas ibukota. Namun, di bulan yang seharusnya dipenuhi dengan semangat patriotik dan sukacita, kita justru disuguhkan sebuah pemandangan yang menyayat hati: lautan rakyat yang, alih-alih mengibarkan bendera, menggemungkan tuntutan dan kekecewaan kepada para wakil mereka sendiri di gedung DPR.
Merdeka! Seruan itu seharusnya bergema penuh kemenangan di usia ke-80 Indonesia. Namun, di Agustus 2025, gema itu tertutup oleh deru amarah rakyat yang merasa dikhianati. Sementara bendera berkibar, tiang-tiang kepercayaan justru patah di bawah beban kekecewaan.
Ironi ini tidak berhenti di Jakarta. Di Pati, Jawa Tengah, ribuan massa mendatangi kantor Bupati, memprotes kebijakan yang dianggap tidak berpihak, memblokir jalan, dan menyuarakan tuntutan mundur. Aksi ini adalah mikrocosmos dari kemarahan yang sama: rakyat merasa tidak didengar dan dikhianati oleh pemegang amanah.
Jerit kesengsaraan rakyat menggema di jalanan, sebuah video dari dalam gedung DPR justru menjadi batu ujian bagi rasa empati bangsa. Di saat rakyat kesulitan memenuhi kebutuhan harian, para wakil rakyat itu terlihat asyik berjoget ria, merayakan kenaikan tunjangan mereka yang fantastis. Sebuah analisis yang viral menyebutkan bahwa dengan berbagai tunjangan dan fasilitas, penghasilan anggota DPR bisa menyentuh setara Rp 3 juta per hari. Angka yang kontras dan menyakitkan di tengah jutaan rakyat yang masih berjuang untuk sekadar makan sekali sehari.
Sementara nelayan kesulitan membeli solar, petani merana oleh harga pupuk, Guru yang yang hanya digaji 500 ribu perbulan dianggap beban oleh negara dan kaum muda putus asa oleh lapangan kerja yang sempit, para wakil rakyat justru sibuk menghitung keuntungan material mereka sendiri.
Dua potret ini, joget di gedung mewah dan jerit di jalanan panas, adalah gambaran paling gamblang dari dua sisi Indonesia yang semakin berjarak. Ini bukan lagi sekadar krisis legitimasi representatif, tetapi sudah pada tahap krisis moral dan empati.
Apa artinya kemerdekaan jika yang terjadi adalah kesenjangan yang semakin menganga? Para pendiri bangsa berjuang untuk keadilan sosial, bukan untuk menciptakan kelas elit baru yang terisolasi dari penderitaan rakyatnya. Joget itu adalah simbol dari keangkuhan dan ketulian yang struktural. Ia mengirimkan pesan yang sangat keliru: bahwa kepentingan pribadi dan kelompok lebih dirayakan daripada pencapaian untuk kesejahteraan rakyat.
Kasus Bupati Pati dan joget anggota DPR adalah dua sisi dari koin yang sama: pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Rakyat memilih dengan harapan akan lahir kebijakan yang meringankan hidup mereka, bukan yang memberatkan. Rakyat membayangkan wakilnya akan bekerja dengan semangat pengabdian, bukan berfoya-foya dengan uang rakyat.
Oleh karena itu, demonstrasi di bulan kemerdekaan ini tidak boleh dilihat sebagai pengacau keamanan, tetapi sebagai pelajaran demokrasi yang paling mahal dan pahit. Ini adalah mekanisme pertahanan terakhir rakyat ketika semua saluran formal telah buntu. Ini adalah alarm yang memberitahu kita bahwa rumah besar bernama Indonesia sedang tidak baik-baik saja.
Momentum ini adalah panggilan untuk membangunkan nurani para pemimpin. Sudah waktunya para wakil rakyat berhenti joget dan mulai mendengar. Sudah waktunya mereka menukar kalkulator tunjangan dengan peta jalan untuk mengatasi kemiskinan dan ketidakadilan.
Di usia ke-80, Indonesia tidak membutuhkan perayaan yang semu. Indonesia membutuhkan rekonsiliasi antara rakyat dan wakilnya. Kemerdekaan yang hakiki adalah ketika rakyat tidak perlu lagi berteriak keras untuk didengar, dan para wakilnya tidak perlu diingatkan dengan demo untuk merasakan penderitaan rakyatnya!