Jakarta, (LA) – Pernyataan mengejutkan dari Chandra Hamzah, mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tentang kemungkinan penjual pecel lele dianggap koruptor, menuai perhatian publik. Pernyataan itu disampaikan saat Chandra hadir sebagai ahli dalam sidang gugatan uji materi Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) di Mahkamah Konstitusi (MK).
Pasal-Pasal Multitafsir dalam UU Tipikor
Chandra mengkritik dua pasal dalam UU Tipikor, yakni Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3, yang menurutnya terlalu kabur dan rentan disalahgunakan.
Pasal 2 Ayat (1): Mengatur tindak pidana memperkaya diri sendiri yang merugikan keuangan negara, dengan ancaman hukuman 4–20 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.
Pasal 3: Mengatur penyalahgunaan kewenangan yang juga merugikan keuangan negara dengan ancaman hukuman serupa.
Chandra menyoroti bahwa rumusan pasal ini tidak memenuhi asas lex certa (rumusan harus pasti) dan lex stricta (tidak boleh ditafsirkan bebas).
“Rumusan ini terlalu luas sehingga bisa disalahartikan. Bahkan rakyat kecil yang tidak berniat korupsi bisa saja terjerat,” ujarnya.
Contoh Ekstrem: Penjual Pecel Lele Dianggap Koruptor
Dalam sidang, Chandra memberikan contoh ekstrem untuk menjelaskan ambiguitas pasal tersebut. Ia menyebut penjual pecel lele di trotoar bisa dikategorikan sebagai koruptor jika unsur-unsur dalam pasal tersebut dipaksakan:
Melawan hukum: Berjualan di trotoar dianggap melanggar aturan penggunaan fasilitas umum.
Menguntungkan diri sendiri: Penjual mendapat keuntungan dari kegiatan tersebut.
Merugikan negara: Trotoar yang rusak atau terganggu dianggap kerugian fasilitas negara.
“Praktik semacam itu jelas bukan esensi korupsi. Tapi pasal ini memungkinkan interpretasi seperti itu,” tegas Chandra.