Namun, ia juga mengingatkan bahwa tantangan eksternal, seperti aturan deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation Regulation/EUDR), bisa berdampak signifikan pada pasar sawit Indonesia.
“Pangsa pasar sawit Indonesia ke Eropa memang kecil, sekitar 12%, tetapi Uni Eropa adalah trendsetter. Jika mereka melarang, ada kekhawatiran negara lain ikut-ikutan,” tambahnya.
Dukungan dari Petani Sawit
Di sisi lain, kebijakan Presiden Prabowo mendapat dukungan penuh dari Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO). Ketua Umum DPP APKASINDO, Dr. Gulat ME Manurung, menyebut kebijakan ini sebagai peluang besar untuk meningkatkan produktivitas sawit rakyat.
“Kami mendukung arahan Presiden terkait pengembangan sawit. Ini bukan hanya soal penambahan lahan, tetapi juga replanting sawit rakyat untuk meningkatkan produktivitas hingga 3-4 kali lipat,” ungkap Gulat.
Ia juga menyarankan agar fokus pengembangan diarahkan pada pemanfaatan lahan terdegradasi, seperti eks tambang atau kawasan yang tidak lagi berhutan, guna mengurangi risiko deforestasi.
Diplomasi Sawit yang Lebih Kuat
Selain peningkatan produktivitas, kemampuan diplomasi Indonesia dalam mempromosikan sawit berkelanjutan juga menjadi kunci. Dengan adanya hambatan regulasi dari Uni Eropa, pemerintah perlu memperkuat kampanye positif tentang sawit Indonesia, termasuk manfaatnya bagi ekonomi global.
“Produk sawit kita sering disudutkan tanpa perlindungan regulasi yang kokoh. Diplomasi harus terus ditingkatkan agar sawit Indonesia bisa bersaing di pasar internasional,” tegas Gulat.
Keberlanjutan sebagai Prioritas Utama
Di tengah berbagai peluang dan tantangan, kebijakan sawit harus tetap berpijak pada prinsip keberlanjutan. Pengelolaan yang bijak dan berorientasi jangka panjang diharapkan tidak hanya membawa manfaat ekonomi, tetapi juga menjaga komitmen Indonesia terhadap perubahan iklim.