Nur Raihan Lubis, yang juga dikenal melalui film Children of Tsunami (2005) dan Tsunami: Race Against Time (2024), menekankan pentingnya riset sebagai fondasi utama dalam pembuatan film dokumenter.
“Kekuatan film dokumenter terletak pada riset. Banyak ide tentang seni dan budaya yang bisa digarap menjadi film dokumenter. ISBI Aceh memiliki potensi besar untuk melahirkan generasi baru pembuat film dokumenter di Aceh,” ungkap Raihan.
Ia juga menambahkan bahwa The Tsunami Song memiliki posisi penting dalam sejarah perfilman dokumenter di Aceh.
“The Tsunami Song adalah salah satu film dokumenter penting karena menjadi karya yang dapat merawat ingatan kolektif tentang bencana terbesar yang pernah terjadi di Aceh. Film ini juga berhasil merekam daya ketahanan masyarakat Aceh pascabencana dan upaya mereka untuk tetap melestarikan nilai-nilai budaya Aceh,” ujar Raihan Lubis.
Sementara itu, Hendra Fahrizal—yang juga anggota Script Laboratory di Jakarta dan penulis naskah bersertifikat BNSP—menilai bahwa The Tsunami Song menghadirkan sudut pandang baru terhadap bencana tsunami.
“Film ini menarik karena mengangkat sisi lain dari tragedi tsunami. Bahwa kerusakan bukan hanya pada bangunan dan nyawa manusia, tetapi juga pada warisan budaya yang seharusnya dijaga,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa pemutaran film di Jantho menjadi langkah penting dalam memperluas literasi dokumenter hingga ke masyarakat di luar Banda Aceh.
Suara dari Generasi Muda
Kegiatan ini turut mendapat tanggapan positif dari mahasiswa dan peserta. Fajri Tomi, mahasiswa Prodi Seni Teater, mengaku tersentuh oleh film tersebut.