Rasa pahit yang melekat di lidah seringkali menjadi alegori dari getirnya hidup. Tapi seperti kopi, hidup pun bisa dinikmati jika kita cukup sabar menghirup aromanya, mendinginkan amarahnya, dan memahami esensinya. Dari situ kita belajar: bahwa tak semua yang pahit harus dihindari. Kadang justru dari kepahitanlah kita menemukan makna terdalam tentang cinta, kehilangan, dan ketangguhan.
Dalam salah satu syair yang kini populer sastra, tertulis:
Dalam secangkir kopi kutemukan sunyi,pahitnya tak lagi pedih di hati.
Syair ini tidak hanya menggambarkan pengalaman pribadi, tetapi juga menyuarakan suara kolektif manusia modern yang terus mencari makna dalam segala keterbatasan. Bahwa bahkan di dalam sunyi, kita bisa berdamai. Bahwa bahkan dalam pahit, kita bisa belajar mencintai.
Para penggiat sastra menilai, simbolisme kopi mencerminkan keseimbangan antara kehangatan dan keterasingan. Ia adalah perayaan atas momen kecil yang sering terabaikan. “Kopi itu seperti guru kehidupan yang diam-diam menuntun kita,” ujar seorang sastrawan senior di Berau. “Ia tidak memaksa, tapi mengajak kita untuk menerima setiap rasa baik maupun buruk sebagai bagian dari proses menjadi manusia seutuhnya.”
Kopi tidak menuntut kita untuk bahagia terus-menerus. Ia hanya mengingatkan bahwa kesedihan pun adalah rasa yang layak dinikmati bahwa luka tidak perlu disembunyikan, cukup diseruput perlahan hingga kita terbiasa dan siap kembali melangkah.
Dalam era yang serba cepat, menikmati secangkir kopi perlahan adalah bentuk perlawanan. Sebuah cara untuk mengatakan bahwa hidup tidak selalu harus dikejar. Bahwa ada keindahan dalam berhenti, dalam menunggu, dan dalam merenung. Menyeduh kopi menjadi ritual kecil yang membawa manusia kembali ke dirinya sendiri. Sebuah pengingat bahwa waktu terbaik bukanlah yang paling produktif, tapi yang paling bermakna.