“Kita ini korban dari pembangunan yang timpang!” pekik Joko. “Tambang batubara mengoyak perut bumi, sawit menggusur ladang, hutan lindung yang dulu jadi paru-paru kini jadi lahan korporasi, dan minyak serta gas disedot tanpa ampun. Tapi kita? Putra daerah hanya mendapat 0,1 persen! Bahkan itu pun hanya dalam bentuk debu jalan dan baliho ucapan terima kasih!”
Suasana hening sejenak. Bukan karena tidak paham, tapi karena semua merasa tertampar. Warga tahu benar kenyataan itu: kekayaan alam habis dikuras, tapi rakyat tetap hidup dengan gaji pas-pasan, jalan rusak, sekolah ambruk, dan harga kebutuhan melonjak tanpa kendali.
“Lihat pajak,” lanjutnya, “Katanya negara kebanjiran pendapatan. Tapi pembangunan lambat. Rumah sakit kekurangan tenaga, sekolah kekurangan guru, dan rakyat hanya jadi objek tagihan! Pemerintah bukannya memberi, malah sibuk mengetuk sektor pajak baru. Mereka menagih ke rakyat, tapi kontribusi baliknya? Nol besar!”
Tepuk tangan meledak. “Setuju!” teriak seseorang dari tengah kerumunan. Ada yang menangis. Ada yang mengepalkan tangan. Dan ada pula yang hanya menunduk, menahan rasa marah yang selama ini tak tersalurkan.
“Dan lihat tanah-tanah tani kita,” kata Joko, kini suaranya semakin berat. “Atas nama negara, ladang-ladang disita. Atas nama investasi, rakyat diusir dari tanahnya sendiri! Padahal itu bukan cuma lahan, itu harga diri! Itu warisan dari leluhur yang kini dirampas demi pabrik dan kepentingan elit!”
Joko pun menggugah kesadaran yang lebih dalam: “Kalau kita diam, anak cucu kita tidak akan kenal hutan. Mereka tidak akan tahu apa itu pohon asli kampung. Mereka tidak akan punya tanah, dan tidak akan pernah tahu rasa keadilan!”