Sultan Azimudin dan para bangsawan Bulungan menyadari ketimpangan itu, namun tak kuasa menentang karena tekanan politik dan militer yang begitu kuat. Upaya mereka untuk membebaskan Raja Muda Datu Alam pun gagal total setelah Gubernur Jenderal di Batavia menolak surat protes Sultan. Sejarah mencatat, penolakan itu menjadi simbol betapa kesewenang-wenangan kolonial menindas harga diri bangsa.
Raja Muda Datu Alam bukan hanya bangsawan pemberani, tetapi juga pewaris semangat perlawanan dari ayahnya, Sultan Datu Alam Muhammad Chalifatul Adil. Sang Sultan dikenal religius, bijak, dan tegas menentang intervensi Belanda. Akibat sikap kerasnya itu, ia diracun oleh Belanda dalam sebuah perjamuan dan wafat pada 30 April 1874. Hingga kini, makam Sultan Datu Alam tak pernah ditemukan, seakan menjadi jejak sejarah yang sengaja dihapus oleh penjajah.
Semangat perjuangan keluarga ini tak lahir dari ambisi politik semata, melainkan dari landasan spiritual yang kuat. Ajaran Islam di Bulungan kala itu begitu kental, dibawa oleh para ulama besar seperti Syeikh Ahmad Al-Magribi dan Sayyid Abdurrahman Bilfaqih. Nilai-nilai tauhid, keadilan, dan keberanian menegakkan kebenaran menjadi ruh dalam setiap tindakan perlawanan Raja Muda Datu Alam.
Darah kepahlawanan juga mengalir dari garis keturunannya. Leluhur Bulungan dikenal sebagai pejuang tangguh yang berulang kali menghalau serangan bajak laut Sulu dan mempertahankan wilayah kekuasaan hingga perairan Tawi-Tawi, Filipina Selatan. Keberanian itulah yang menumbuhkan karakter militan dalam diri Datu Alam, membuatnya tak gentar melawan kolonial meski tahu taruhannya adalah nyawa dan pengasingan.












