Berau Kaltim(LA)– Sorotan publik terhadap minimnya transparansi pengelolaan program Corporate Social Responsibility atau CSR perusahaan tambang kembali menguat. Hal ini mengemuka dalam forum dialog yang digelar Generasi Muda Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan dan Putra Putri TNI Polri atau GM FKPPI Kalimantan Timur pada Senin malam 1 Desember 2025 di Warkop Season Satu Café Meraki Tanjung Redeb.
Diskusi yang dihadiri puluhan peserta itu menjadi ruang terbuka bagi masyarakat, pegiat sosial, dan pemerhati kebijakan daerah untuk membedah ulang peran dan tata kelola CSR khususnya dari sektor pertambangan. Para peserta menilai bahwa transparansi laporan, perencanaan program yang jelas, serta efektivitas realisasi CSR masih jauh dari harapan publik.
Dua narasumber dari unsur legislatif hadir dalam forum ini yaitu Rudi Parasian Mangunsong S H dari Fraksi PDI Perjuangan dan Abdul Waris S Sos dari Partai Demokrat. Keduanya memaparkan data, regulasi, serta dinamika pengawasan CSR di Kabupaten Berau. Forum dipandu Ketua GM FKPPI Kaltim Bastian yang menegaskan bahwa masalah utama terletak pada minimnya akses masyarakat terhadap informasi CSR yang seharusnya terbuka.
Bastian menyampaikan bahwa ketertinggalan sosial di beberapa wilayah lingkar tambang tidak terlepas dari kelemahan transparansi data. Menurutnya masyarakat berhak mengetahui mana program CSR yang dijalankan perusahaan tambang mana kegiatan yang dibiayai APBD dan mana yang bersumber dari hibah pemerintah pusat.
Situasi forum semakin hangat ketika Abdul Waris memaparkan mekanisme teknis perhitungan CSR perusahaan besar seperti PT Berau Coal. Ia menyinggung keputusan bupati terdahulu yang pernah mencantumkan nilai CSR sekitar 60 hingga 70 miliar rupiah. Namun sekitar 50 miliar di antaranya dihitung sebagai CSR berupa pemberian batubara kalori rendah kepada PLTU pada masa krisis listrik di Berau. Waris menjelaskan pemberian batubara gratis tersebut kini tidak lagi diperbolehkan sesuai aturan baru Kementerian ESDM karena dihitung sebagai royalti.














