Chairil Anwar dilahirkan di tengah-tengah keluarga Minangkabau yang konservatif dan sangat taat kepada agama Islam. Suasana keluarga inilah yang menjadikan Chairil pada masa kecilnya harus hidup dengan menuruti segala didikan keagamaan dan tradisi yang kolot, sehingga jiwa Chairil kecil merasa terkekang. Hal ini masih ditambah lagi dengan kehidupan rumah tangga orang tuanya yang tidak tenteram. Mereka selalu terlibat dalam pertengkaran-pertengkaran yang tidak habis-habisnya. Keduanya sama-sama galak, sama-sama keras hati, dan sama-sama tidak mau mengalah. Dalam suasana keluarga yang seperti itulah Chairil Anwar dibesarkan. Dapatlah dibayangkan bagaimana pengaruh suasana seperti itu terhadap perkembangan jiwanya. Di samping itu Chairil Anwar sangat dimanjakan oleh kedua orang tuanya. Semua kebutuhannya sebagai seorang kanak-kanak selalu terpenuhi, baik berupa mainan, pakaian maupun makanan. Semuanya terpenuhi dalam kualitas yang terbaik. Apabila motor-motoran pasti motor-motoran yang baik, demikian pula sepeda dan mainan lainnya.
Apabila Chairil terlibat dalam suatu perkelahian, ayahnya selalu membenarkan Chairil, bahkan kalau perlu ikut juga berkelahi. Kakak perempuannya, Chairani, juga sangat memanjakan Chairil. Ketika Chairil masih sekolah, kakaknya ini sudah menjadi guru di Medan. Tampaknya Chairil sangat dekat dengan kakaknya itu. Di luar rumah Chairil kecil juga merupakan kesayangan orang. Di samping karena kedudukan bapaknya yang cukup terpandang, pribadi Chairil sendiri membuat banyak orang sayang kepadanya. la seorang anak yang cakap rupanya, cerdas serta tajam otaknya, lincah, terbuka, dan tidak penakut atau malu-malu. Karena itulah di sekolah pun ia disayangi guru-guru dan teman-temannya. Sampai ia remaja seolah-olah seluruh dunia memanjakan dia. Uang, tidak pernah kekurangan, demikian juga pakaian, makanan, dan keperluan-keperluan lain seperti sepeda. Saat itu Chairil dituruti semua kehendaknya. Akibatnya ia menjadi seorang yang tidak mau dikalahkan.