Jakarta, (LA) – Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengurai sebab di balik gelombang aksi penyampaian pendapat pada akhir Agustus 2025. Menurutnya, unjuk rasa itu tak lepas dari tekanan ekonomi berkepanjangan yang dirasakan publik, dipicu kebijakan fiskal–moneter yang terlalu ketat dan lambatnya perputaran uang di ekonomi.
“Yang kemarin itu karena tekanan ekonomi berkepanjangan. Karena kesalahan kebijakan fiskal dan moneter itu sendiri,” ujar Purbaya usai Raker Komisi XI DPR RI di Jakarta, Rabu (10/9/2025).
Uang Beredar Menciut, Ekonomi “Direm”
Purbaya menjelaskan perlambatan pertumbuhan uang beredar terjadi sejak 2020 dan sempat mendekati 0% di akhir 2024, menekan sektor riil hingga memunculkan kesan “Indonesia Gelap”. Memasuki 2025, indikator ini sempat bangkit ke sekitar 7% pada April, namun jatuh lagi ke 0% pada Agustus.
Faktor utamanya, kata dia, adalah lambannya realisasi belanja pemerintah serta minimnya intervensi terhadap dana pemerintah yang parkir di Bank Indonesia, sehingga likuiditas tidak mengalir optimal ke perbankan dan dunia usaha.
Resep Pemulihan: Gas Bareng Fiskal–Moneter
Untuk memulihkan daya gedor ekonomi, pemerintah menyiapkan dua langkah serentak:
Moneter: menarik Rp200 triliun dana pemerintah dari BI untuk menambah likuiditas perbankan agar kredit dan aktivitas usaha kembali ngebut.
Fiskal: mempercepat penyaluran belanja kementerian/lembaga; Menkeu mengaku siap turun tangan bila ada hambatan birokrasi di lapangan.
“Periode perlambatan gara-gara uang ketat sempat dipulihkan sedikit. Belum pulih, sudah direm lagi,” kata Purbaya, seraya menegaskan targetnya agar mesin fiskal dan moneter kembali sinkron demi mencegah gejolak sosial berulang.
Likuiditas yang longgar = akses kredit lebih gampang, cashflow UMKM makin lancar, lapangan kerja terbuka, dan harga lebih stabil. Intinya, kalau uang mengalir, ekonomi jalan—emosi pun reda.