Jakarta, (LA) – Pertarungan menuju Pemilihan Gubernur (Pilgub) Riau 2024 memanas seiring munculnya perbedaan hasil survei dari dua lembaga terkemuka, The Republic Institute (TRI) dan Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA.
Hasil survei TRI menempatkan pasangan M Nasir-HM Wardan di posisi teratas dengan elektabilitas 35,7%, disusul oleh Abdul Wahid-SF Hariyanto dengan 31,5%, dan Syamsuar-Mawardi M Saleh dengan 22,1%. Namun, survei LSI menunjukkan gambaran yang jauh berbeda, dengan Abdul Wahid-SF Hariyanto unggul jauh di angka 45,5%, Syamsuar-Mawardi M Saleh 16,5%, dan M Nasir-HM Wardan hanya 13,4%.
Perbedaan data yang mencolok ini tidak hanya membingungkan publik, tetapi juga menimbulkan pertanyaan besar mengenai kredibilitas dan independensi kedua lembaga survei tersebut. Apakah survei ini benar-benar mencerminkan aspirasi rakyat, ataukah hanya menjadi alat propaganda politik?
Perbedaan Hasil: Kesalahan Metodologi atau Kepentingan Politik?
Pengamat politik Riau yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan bahwa perbedaan ini mengindikasikan adanya kemungkinan ketidaktepatan dalam metodologi survei atau bahkan mungkin bias yang disengaja.
“Hasil survei yang sangat berbeda ini mengindikasikan adanya masalah serius, baik dari cara pengumpulan data, penentuan sampel, atau bahkan dugaan intervensi politik. Publik berhak mengetahui detail metodologi untuk memastikan survei ini benar-benar kredibel,” tegasnya.
Perbedaan metodologi kerap menjadi alasan utama hasil survei yang kontradiktif. Namun, dalam beberapa kasus, survei yang didanai oleh pihak tertentu sering kali menjadi alat untuk menggiring opini publik. “Survei seperti ini bukan lagi cerminan aspirasi, melainkan alat legitimasi untuk kepentingan elite politik tertentu,” tambahnya.
Tidak Hanya Riau: Polemik Survei di Berbagai Daerah
Fenomena hasil survei yang kontroversial bukan hanya terjadi di Riau. Di Malang, hasil survei LSI yang dinilai “tidak relevan” mendapat kritik tajam dari para tokoh lokal dan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Seorang pakar politik menyebut, “Hasil survei ini tidak sesuai dengan realitas di lapangan. Ini membuktikan survei bisa digunakan sebagai alat manipulasi.”
Fenomena serupa juga terjadi di Pilgub Jakarta, dan sudah viral, di mana hasil survei dari berbagai lembaga menunjukkan perbedaan mencolok.
Di Purworejo, perbedaan hasil survei memunculkan protes dari juru bicara salah satu pasangan calon, yang menyebut survei sebagai “alat propaganda politik.” Bahkan, di Maluku Utara, sebuah survei yang menunjukkan total suara kandidat melebihi 100% menjadi bahan sindiran tajam di media sosial. “Ini benar-benar menghina akal sehat publik. Bagaimana kita bisa percaya pada lembaga survei jika datanya sefantastis ini?” tulis seorang pengguna Twitter yang menjadi viral.
Kasus serupa juga terjadi di Kaltim, di mana hasil survei dianggap tidak mencerminkan kondisi pemilih. Seorang tokoh masyarakat, Andi Saharuddin, menyatakan, “Survei semacam ini hanya akan merusak kepercayaan publik terhadap demokrasi. Jika dibiarkan, ini akan menjadi preseden buruk.”
Dampak pada Kepercayaan Publik
Survei seharusnya menjadi alat ilmiah untuk memahami opini publik secara objektif. Namun, perbedaan hasil yang mencolok ini telah merusak kepercayaan masyarakat terhadap lembaga survei. “Ketika lembaga survei tidak bisa dipercaya, publik akan kehilangan pegangan untuk memahami peta politik yang sebenarnya,” ujar seorang pakar komunikasi politik.
Viralnya kasus-kasus ini di media sosial menunjukkan keresahan masyarakat. Banyak yang menganggap lembaga survei telah kehilangan fungsi aslinya sebagai pilar demokrasi. Sebaliknya, survei dianggap menjadi bagian dari alat kampanye terselubung yang digunakan untuk membangun narasi tertentu.
Perlunya Regulasi Ketat dan Transparansi
Pakar politik menyerukan perlunya regulasi ketat terhadap lembaga survei. Standar yang jelas harus diberlakukan, termasuk transparansi metodologi, sumber dana, dan proses pengambilan data.
“Jika tidak ada regulasi yang ketat, lembaga survei akan terus menjadi alat politik yang tidak bertanggung jawab,” tegasnya.
KPU dan lembaga independen lainnya diharapkan memainkan peran aktif dalam mengawasi dan memastikan integritas lembaga survei. Jika tidak, demokrasi di Indonesia akan semakin terancam oleh praktik-praktik manipulasi data yang sistematis.
Survei sebagai Pilar Demokrasi atau Alat Politik?
Pada akhirnya, pertanyaan besar yang muncul adalah apakah lembaga survei di Indonesia masih dapat dipercaya. Perbedaan data yang begitu mencolok antara TRI dan LSI di Pilgub Riau, ditambah polemik serupa di berbagai daerah, telah memunculkan sinyal bahwa survei kini lebih sering menjadi alat politik daripada cerminan suara rakyat.
“Tentu kita sebagai masyarakat mempertanyakan, Hasil Survei ini bersumber dari kebenaran data atau alat politik? Soalnya beda-beda tuh hasilnya.” Sebut pengamat politik yang enggan disebut namanya, sambil tertawa kecil.
Ia juga menekankan masyarakat harus lebih kritis dan tidak mudah percaya pada klaim elektabilitas kandidat yang bersumber dari survei semata. Informasi dari berbagai sumber, termasuk observasi langsung di lapangan, perlu menjadi pertimbangan. Jika tidak, publik akan terus menjadi korban manipulasi data yang disengaja untuk kepentingan segelintir pihak.
Hanya dengan transparansi, independensi, dan regulasi ketat, lembaga survei dapat kembali menjadi pilar demokrasi yang berfungsi dengan baik. Namun, tanpa itu, mereka hanya akan menjadi aktor tambahan dalam panggung drama politik Indonesia. (Alma21)