Fenomena putus sekolah menjadi lebih umum selama pandemi COVID-19, menurut temuan berbagai lembaga. Pendidikan jarak jauh tidak efektif dan ekonomi rumah tangga terpukul. Komisi Nasional Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menemukan ada 119 kasus putus sekolah pada tahun 2020, dimana 21 di antaranya disebabkan oleh tunggakan biaya sekolah. Pada Januari-Maret 2021, 33 anak putus sekolah karena menikah, yang juga disebut-sebut karena alasan ekonomi.
Komnas Perempuan mengumpulkan data dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung selama lima tahun terakhir. Data tersebut menemukan bahwa jumlah dispensasi nikah meningkat tajam, terutama dalam dua tahun terakhir. Terdapat 6.488 dispensasi pada tahun 2016, 11.819 pada tahun 2017, 12.504 pada tahun 2018, 23.126 pada tahun 2019, dan 64.211 pada tahun 2020.
Pasal 7(2) UU No. 16/2019 menyatakan bahwa dispensasi pernikahan diberikan karena alasan mendesak dan memaksa, yang harus didukung oleh bukti-bukti dokumen. Pengecualian pernikahan untuk anak di bawah umur dalam kondisi “keadaan mendesak” merupakan celah untuk pernikahan anak di bawah usia 19 tahun.
Menurut Komnas Perempuan, tingginya angka pengecualian perkawinan merupakan tanda bahaya. Perkawinan anak menyebabkan penurunan kualitas sumber daya manusia Indonesia, karena anak perempuan tidak mendapatkan pendidikan. Hal ini juga dapat menyebabkan kelahiran anak-anak yang belum dewasa, peningkatan angka kematian ibu dan kekerasan dalam rumah tangga.
Rentan terhadap kekerasan
Dilansir dari laman Yayasan Kesehatan Perempuan, Berbagai masalah yang mengancam 80 juta anak Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah bagi seluruh pemangku kepentingan dalam melindungi dan mewujudkan hak-hak anak, terutama anak perempuan. Menurut data CATAHU dari Komnas Perempuan, kekerasan terhadap perempuan meningkat 792 persen atau hampir delapan kali lipat dalam kurun waktu 12 tahun.